Kamis, 25 Februari 2010

INILAH KENYATAAN SEJARAH MAULID NABI

Bulan Rabi'ul Awwal merupakan bulan yang meriah bagi sebagian umat Islam. Ada sebagian menyelenggarakan acara Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebenarnya bagaimana sejarah peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam? Jika kalian tahu, kalian tidak mau merayakannya. Kenapa bisa begitu?!

Banyak Pendapat
Sebenarnya, 12 Rabi'ul Awwal bukanlah tanggal pas kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mengapa? Karena ada juga yang berpendapat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lahir di tanggal selain itu.
Ada yang berpendapat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lahir pada 2 Rabi'ul Awwal. Ini pendapat Ibnu Abdil Barr. Ada yang berpendapat tanggal 8 Rabi'ul Awwal, sebagaimana diceritakan Al-Humaidi dari Ibnu Hazm, yang didukung oleh kebanyakan ahli hadits. Ada yang berpendapat tanggal 9-nya, seperti Abul Hasan An-Nadwi, Zahid Al-Kautsari, dan Al-Mubarakfury. Ada juga yang mengatakan tanggal 10, seperti Al-Baqir. Sedangkan yang berpendapat tanggal 12 adalah Ibnu Ishaq, dan inilah yang terkenal sebagai pendapat mayoritas ulama. Yang berpendapat pada tanggal 17 dan 18 juga ada. Itu baru masalah tanggalnya di bulan yang sama. Ada juga beda pendapat tentang bulan kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lho!
Perbedaan pendapat ini menunjukkan kalo sebenarnya perkara memperingati hari lahir itu bukan sesuatu yang penting di mata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan generasi sahabat. Kalo itu penting, pasti deh sewaktu zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau beberapa saat setelah beliau menjadi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ada sahabat yang merunut balik untuk mencari tahu tanggal lahir Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang tepat itu kapan.

Sudah Ada Sejak Dahulu?!
Suatu saat di sebuah acara pengajian di televisi, bapak yang menjadi penceramah bilang bahwa maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini udah diperingati sejak zaman para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Benarkah demikian?
Ternyata para ulama berkata lain. Para ulama menegaskan bahwa acara maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini tidak pernah diadakan di zaman para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan juga dua generasi berikutnya, yaitu zaman para murid sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan hal tersebut juga tidak dikenal di kalangan Imam-imam mazhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi'i sekalipun. Contoh ulama itu adalah Ibnu Hajar al-Asqolani, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qoyyim.

Siapa Pelopornya?!
Jika demikian, siapa yang pertama kali mengadakan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini? Ada yang mengatakan bahwa acara ini pertama kali diadakan oleh Sholahuddin Al-Ayyubi (berkuasa tahun 570-590 H) untuk membangkitkan semangat juang umat islam, soalnya saat itu Masjidil Aqsha dikuasai tentara Salib. Akan tetapi ini adalah pemutarbalikan fakta sejarah, sebab Sholahuddin Al-Ayyubi dikenal berupaya untuk menghancurkan pelopor maulid nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini yang juga mereka sangat membenci Sholahuddin Al-Ayyubi. Bahkan mereka berupaya membunuh beliau beberapa kali.
Barangsiapa yang mempelajari sejarah, niscaya dia akan dapat memastikan bahwa Sholahuddin al-Ayyubi adalah seorang raja dan panglima Islam yang telah melenyapkan perayaan maulidan dari permukaan negeri kaum muslimin. Sedangkan mereka yang mengatakan sebaliknya bahwa Sholahuddin al-Ayyubi adalah seorang yang telah menggerakkan maulidan, maka pernyataan tersebut tidak memiliki bukti sama sekali.
Menurut penelitian ulama, yang pertama kali membuat acara maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini adalah Raja Mu'iz li Dinillah, seorang raja Dinasti Fathimiyyah yang berkuasa sejak tahun 362 H di Mesir. Ia membuat enam maulid sekaligus, yaitu maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Ali bin Abi Tholib, Fathimah, Hasan, Husain, serta maulid raja yang berkuasa. Fakta yang mendukung hal ini sangatlah banyak tercantum di buku-buku para ulama.
Apa latar belakang raja Dinasti Fathimiyah mengadakan hal ini? Sebenarnya kaum Fathimiyah ini telah berhasil mendirikan negara sendiri di Mesir karena pemberontakan terhadap khilafah Abbasiyyah. Intinya mereka memploklamirkan berlepas diri dari kekuasaan Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad. Kerajaan baru hasil pemberontakan ini menguasai Mesir dan Syam. Akan tetapi kaum muslim Mesir tidak suka melihat tingkah pola dan cara mereka memerintah negara. Raja Mu'iz khawatir akan terjadi pemberontakan rakyatnya sendiri yang akan menggulingkannya. Dengan demikian, dalam rangka mengambil hati rakyatnya, Mu'iz mengadakan acara-acara maulid yang banyak itu, juga perayaan Isra' Mi'raj dan tahun baru Hijriyah.
Hingga pada tahun 487 H, pada masa pemerintahan Al-Afdhal bin Amirul Juyusy, perayaan enam maulid itu dihapuskan dan tidak diperingati. Raja ini meninggal pada 515 H. Pada tahun itu juga, raja baru bergelar Al-Amru li Ahkamillah -ada yang menyebutnya Al-Hakim bin Amrullah- dilantik. Dia menghidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut pada tahun 524 H setelah hampir dilupakan manusia.
Tersebutlah seorang sufi bernama Mulia Umar bin Muhammad -atau disebut Al-Mushil Umar Muhammad Mula-. Ia yang membawa acara maulid ini ke tanah Irak pada awal abad ketujuh. Dari pengaruh inilah diduga raja Muzhaffaruddin -atau disebut raja Mudhafir Abu Sa'id Kaukaburi (raja Irbil)- mulai menyelenggarakan acara maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini dengan penuh kemegahan. Setelah itu, acara ini menyebar ke seluruh penjuru dunia akibat kebodohan umat dan taklid.
Kesimpulannya, yang pertama kali mengadakan acara ini bukanlah Sholahuddin, bukan juga Muzhaffaruddin tapi Muiz li Dinillah raja Dinasti Fathimiyyah.

Sepak Terjang Fathimiyyah
Bicara maulid Nabi tentu bicara Fathimiyyah. Bicara Fathimiyyah tentu kalian tidak akan menyukainya. Tersebutlah seorang Yahudi bernama Sa'id di Maroko. Dia bekerja sebagai tukang celup pewarna kain. Dia pura-pura masuk Islam dan pergi ke Silmiyah, sebuah negeri di Maroko. Di sana, ia mengaku keturunan Fathimah binti Ali bin Abi Tholib. Ternyata perkataannya dipercaya orang-orang hingga dia memiliki kekuasaan. Ahkirnya ia mendirikan kelompok yang dikenal sebagai Fathimiyyun.
Setelah berhasil menaklukkan Mesir, ia mengganti namanya menjadi Ubaidillah dengan kunyahnya Abu Muhammad. Lengkapnya, orang-orang mengenalnya sebagai Abu Muhammad Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah. Ia pun akhirnya memakai gelar Al-Mahdi.
Para ahli nasab (silsilah keturunan) menjelaskan bahwa sesungguhnya dia bukanlah keturunan Fathimah, melainkan berasal dari keturunan Al-Qoddah yang beragama Majusi. Ibnu Khalkhan, seorang ulama madzhab Imam Syafi'i berkata tentang nasab Ubaidillah, “Semua ulama sepakat mengingkari silsilah nasab keturunannya dan mereka semua mengatakan bahwa semua yang menisbatkan dirinya kepada Fathimiyyun adalah pendusta. Sesungguhnya mereka itu berasal dari Yahudi dari Silmiyah, negeri Syam, dari keturunan Al-Qoddah. Ubaidillah binasa pada tahun 322 H, tapi keturunannya yang bernama Al-Mu'iz bisa berkuasa di Mesir dan kekuasaan Ubaidiyyun dan Fathimiyyun ini bisa bertahan hingga 2 abad lamanya hingga mereka dibinasakan oleh Sholahuddin Al-Ayyubi pada tahun tahun 546 H.”
Dinasti ini menganut paham Syi'ah Bathiniyyah. Syi'ah Bathiniyyah sudah dianggap agama tersendiri, bukan bagian Islam karena sesatnya pemahaman mereka. Salah satu kesesatan mereka adalah meyakini Al-Mahdi ini adalah tuhan pencipta dan pemberi rezeki. Sebagaimana sekte besar Syi'ah, mereka melaknat Aisyah, istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Diceritakan bahwa anak Al-Mahdi selalu melaknat Aisyah di pasar-pasar.
Saking sesatnya dinasti ini, banyak ulama yang hidup di masa itu menjelaskan kesesatan-kesesatan mereka. Imam Al-Ghozali menulis buku berjudul Fadhoidh Bathiniyyah, pada bab delapan beliau menghukumi penganut Syi'ah Bathiniyyah sebagai kafir, murtad, dan telah keluar dari agama Islam.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah rohimahulloh mengatakan dalam Majmu' Fatawa, “Sesungguhnya Bathiniyyah itu orang yang paling fasik dan kafir. Barangsiapa yang mengira bahwa mereka itu orang yang beriman dan bertakwa serta membenarkan silsilah nasab mereka (pengakuan mereka dari keturunan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu 'anhu), maka orang itu bersaksi tanpa ilmu. Para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah orang-orang zindik dan munafik, dan berasal dari keturunan Majusi dan Yahudi.”
Jelaslah sudah, pelopor maulid Nabi adalah orang-orang yang sudah dihukumi kafir oleh para ulama. Motif diadakannya maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berbau politis, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Wallahu Ta'ala A'lam




Setelah makan malam
Malam jum'at yang dingin, Jember, timur tanah Jawa
Kamis, 11 Shafar 1431 H / 25 Februari 2010 M
Abu Ahnaf Roni Nuryusmansyah al-Balimbanji
Dikutip dari majalah elfata (03/2009) dengan tambahan dari majalah al-furqon (99) dengan editing secukupnya